Kajian Buku Linguistik Umum Karya Drs. Abdul Chaer
Email : q.coybae@gmail.com
BAB 3
OBJEK LINGUISTIK: BAHASA
3.1 PENGERTIAN BAHASA
Kata
bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau
pengertian. Kata bahasa yang terdapat pada kalimat bisa menunjuk pada
beberapa arti atau kategori lain. Menurut peristilahan de Saussure, bahasa
bisa berperan sebagai parole, langue, langage. Sebagai objek kajian linguistik,
karole merupakan objek konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang
diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue merupakan
objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu
secara keseluruhan. Langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia
berwujud sistem bahasa yang universal.
“
Apakah bahasa itu?” Seperti yang dikemukakan Kridalaksana (1983 dan juga dalam
Djoko Kentjono 1982) “ Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi,
dan mengidentifikasi diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari Barber(1964:
21), Wardhaugh(1977:3), Trager(1949:18), de Saussure(1966:16) dan
Bolinger(1975:15).
Masalah
yang berkeneen dengan pengertian bahasa adalah bilamana sebuah tuturan disebut
bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya dan bilamana hanya dianggap sebagai
varian dari suatu bahasa lainnya dan hanya dianggap sebagai varian dari suatu
bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan
dua buah patokan, yaitu patokan linguistis dan patokan politis. Masalah lain
adalah arti bahasa dalam pendidikan formal di sekolah menengah bahwa” bahasa
adalah alat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah tetapi juga tidak benar sebab
hanya mengatakan” bahasa adalah alat”.
Oleh
karena itu, meskipun bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti
tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena ”rumitnya”
menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang
lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa
yang ada di dunia ini.
3.2 HAKIKAT BAHASA
Beberapa
ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa adalah
3.2.1 Bahasa sebagi Sistem
Kata
sistem sudah biasa digunakan dalam kegiatan sehari-hari dengan makna ‘cara’
atau ‘aturan’, tapi dalam kaitan dengan keilmuan, sistem bararti susunan
teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi.
Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis.
Dengan sistematis, artinya bahasa itu tersusun menurut pola, tidak tersusun
secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya bahasa itu bukan
merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub- subsistem atau sistem
bawahan.
3.2.2 Bahasa sebagai Lambang
Kata
lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian yang sama.
Lambang dikaji orang dengan kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut
ilmu Semiotika atau Semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada
dalam kehidupan manusia termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi
dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign), lambang
(simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode,
indeks, dan ikon. Dengan begitu, bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud
bunyi- bahasa, bukan dalam wujud lain.
3.2.3 Bahasa adalah Bunyi
Sistem
bahasa itu bisa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kata bunyi, sering
sukar dibedakan dengan kata suara. Secara teknik, menurut Kridalaksana (1983:
27) bunyi adalah kesan dari pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang
telinga yang bereaksi karena perubahan- perubahan dalam tekanan udara. Lalu
yang dimaksud dengan bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah
bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Jadi, bunyi yang bukan
dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Tetapi tidak
semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa,
seperti teriak, bersin, batuk- batuk, dan sebagainya.
3.2.4 Bahasa itu Bermakna
Bahasa
itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, maka tentu ada yang
dilambangkan. Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau
pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang- lambang
itu mengacu pada suatu konsep, ide atau suatu pikiran, maka dapat dikatakan
bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lambang- lambang bunyi bahasa yang bermakna
itu di dalam bahasa berupa satuan- satuan bahasa yang berwujud morfem, kata,
frase, klausa, kalimat dan wacana. Karena bahasa itu bermakna, maka segala
ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
3.2.5 Bahasa itu Arbitrer
Kata
arbitrer bisa diartikan “ sewenang- wenang, berubah- ubah, tidak tetap, mana
suka”. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang
berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang
tersebut.
3.2.6 Bahasa itu Konvensional
Meskipun
hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer,
tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat
konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi
bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
3.2.7 Bahasa itu Produktif
Kata
produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah
“ banyak hasilnya “ atau lebih tepat “ terus- menerus menghasilkan “. Lalu,
kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsur- unsur
bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur- unsur yang jumlahnya terbatas itu
dapat dibuat satuan- satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara
relatif, sesuai dengan sistem yamg berlaku dalam bahasa itu.
3.2.8 Bahasa itu Unik
Unik
artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain.
Bahasa dikatakan unik yang artinya setiap bahasa memiliki ciri khas yang tidak
dimiliki oleh bahasa lain. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa
tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis, artinya jika kita
memberi tekanan pada kata dalam kalimat maka makna kata itu tetap.
3.2.9 Bahasa itu Universal
Bahasa
bersifat universal artinya ada ciri- ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di dunia ini. Ciri- ciri yang universal ini tentunya merupakan
unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri- ciri atau
sifat- sifat bahasa lain.
3.2.10 Bahasa itu Dinamis
Bahasa
adalah satu- satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan
dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang
berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu
dengan manusia, sedangkan dalam
kehidupannya di dalam masyarakat, kegiatan manusia itu tidak tetap dan
selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap
dan tidak statis. Karena itulah bahasa itu disebut dinamis.
3.2.11 Bahasa itu Bervariasi
Anggota
masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai
status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Anggota
masyarakat bahasa itu ada yang berpndidikan baik ada juga yang tidak, ada yang
tinggal di kota
ada yang tinggal di desa, ada orang dewasa dan kanak- kanak. Oleh karena latar
belakang dan lingkungannya tidak sama maka bahasa yang mereka gunakan menjadi
bervariasi atau beragam.
3.2.12 Bahasa itu Manusiawi
Alat
komunikasi manusia yang namanya bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti
hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Alat komunikasi
binatang bersifat terbatas. Dalam arti hanya untuk keperluan hidup “
kebinatangannya” itu saja. Kalaupun ada binatang yang dapat mengerti dan
memahami serta melakukan perintah manusia dalam bahasa manusia adalah berkat
latihan yang diberikan kepadanya.
3.3 BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA
Objek
kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu
sendiri, sedangkan kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya
dengan faktor- faktor di luar bahasa yaitu tidak lain daripada segala hal yang
berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan
yang tanpa berhubungan dengan bahasa.
3.3.1 Masyarakat Bahasa
Kata
masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang (dalam jumlah yang
banyaknya relatif ), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat
tinggal atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Yang dimaksud dengan
masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang
sama. Karena titik berat pengertian masyarakat bahasa pada “ merasa menggunakan
bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan dapat
menjadi sempit.
3.3.2 Variasi dan Status Sosial
Bahasa
Dalam
beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya
dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang
pertama adalah variasi bahasa tinggi ( T ) digunakan dalam situasi- situasi
resmi, seperti pidato kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah,
surat- menyurat resmi dan buku pelajaran, variasi T ini harus dipelajari
melalui pendidikan formal di sekolah- sekolah. Yang kedua adalah variasi bahasa
rendah ( R ) digunakan dalam situasi tidak formal, seperti di rumah, di warung,
di jalan, dalam surat- surat pribadi dan catatan untuk diri sendiri, variasi R
ini dipelajari secara langsung di dalam masyarakat umum dan tidak pernah dalam
pendidikan formal. Adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R disebut dengan
istilah diglosia ( Ferguson
1964 ). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis.
3.3.3 Penggunaan Bahasa
Adanya
berbagai macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita
harus menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat. Hymes (1974) seorang pakar
sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa
harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
- Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan
- Participants, yaitu orang- orang yang terlibat dalam percakapan
- Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan
- Act sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan
- Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan
- Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan
- Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan
- Genres, yaitu menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Kedelapan
unsur tersebut dalam formulasi lain bisa dikatakan dalam berkomunikasai lewat
bahasa harus diperhatikan faktor- faktor siapa lawan atau mitra bicara kita,
tentang apa, situasinya bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa dan ragam bahasa
yang digunakan yang mana.
3.3.4 Kontak Bahasa
Dalam
masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan
anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat,
akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang
menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang
datang. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa
ini adalah terjadinya atau terdapatnya apa yang disebut bilingualisme dan
multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, sepertu interferensi,
integrasi, alihkode, dan campurkode.
3.3.5 Bahasa dan Budaya
Satu
lagi yang menjadi objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa
dengan budaya atau kebudayaan. Dalam sejarah linguistik ada suatu hipotesisyang
sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan ini. Hipotesis ini
dikeluarkan oleh dua orang pakar, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (
hipotesis Sapir- Whorf) yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan
atau bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat
penuturnya. Jadi bahasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia. Apa
yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat- sifat bahasanya.
3.4
KLASIFIKASI BAHASA
Klasifikasi
dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa. Bahasa yang
mempunyai kesamaan ciri dimasukkan dalam satu kelompok. Menurut Greenberg (1957:
66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer,
ekhaustik, dan unik. Nonarbitrer maksudnya bahwa kriteria klasifikasi hanya
harus ada satu kriteria, maka hasilnya akan ekhaustik. Artinya, setelah
klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya, semua bahasa yang ada dapat masuk
ke dalam salah satu kelompok. Hasil klasifikasi juga harus bersifat unik,
maksudnya kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelompok, dia
tidak bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain, kalau masuk ke dalam dua
kelompok atau lebih berarti hasil klasifikasi itu tidak unik.
3.4.1
Klasifikasi Genetis
Klasifikasi
genetis disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis
keturunan bahasa- bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan
dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa
pro ( bahasa tua, bahasa semula) akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau
lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa- bahasa lain.
Kemudian bahasa- bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa- bahasa pecahan
berikutnya.
Klasifikasi
genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti yaitu atas kesamaan
bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa- bahasa yang memiliki
sejumlah kesamaan seperti itu dianggap berasal dari bahasa asal atau bahasa
proto yang sama. Apa yang dilakukan dalam klasifikasi genetis ini sebenarnya
sama dengan teknik yang dilakukan dalam linguistik historis komparatif, yaitu
adanya korespondensi bentuk (bunyi) dan makna. Oleh karena itu, klasifikasi
genetis bisa dikatakan merupakan hasil pekerjaan linguistik historis
komparatif. Klasifikasi genetis juga menunjukkan bahwa perkembangan bahasa-
bahasa di dunia ini bersifat divergensif, yakni memecah dan menyebar menjadi
banyak, tetapi pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan
teknologi komunikasi yang semakin canggih, perkembangan yang konvergensif
tampaknya akan lebih mungkin dapat terjadi.
3.4.2
Klasifikasi Tipologis
Klasifikasi
tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe- tipe yang terdapat
pada sejumlah bahasa. Tipe ini merupakan unsur tertentu yang dapat timbul
berulang- ulang dalam suatu bahasa. Klasifikasi tipologi ini dapat dilakukan
pada semua tataran bahasa. Maka hasil klasifikasinya dapat bermacam- macam,
akibatnya menjadi bersifat arbitrer karena tidak terikat oleh tipe tertentu.
Klasifikasi
pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar
dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
§
Kelompok pertama adalah yang semata- mata
menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi. ( klasifikasi morfologi oleh
Fredrich Von Schlegel)
§
Kelompok kedua adalah yang menggunakan akar kata
sebagai dasar klasifikasi ( oleh Franz Bopp).
§
Kelompok ketiga adalah yang menggunakan bentuk
sintaksis sebagai dasar klasifikasi, pakarnya antara lain H. Steinthal.
Pada abad XX ada
juga pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang berbeda, misalnya yang
dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954).
3.4.3
Klasifikasi Areal
Klasifikasi
areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa
memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak.
Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam kontak sejarah bahasa- bahasa
itu memberikan pengaruh timbal balik dalam hal- hal tertentu yang terbatas.
Klasifikasi inipun bersifat non ekhaustik, sebab masih banyak bahasa- bahasa di
dunia ini yang masih bersifat tertutup dalam arti belum menerima unsur- unsur
luar. Selain itu, klasifikasi inipun bersifat non unik, sebab ada kemungkinan
sebuah bahasa dapat masuk dalam kelompok tertentu dan dapat pula masuk ke dalam
kelompok lainnya lagi. Usaha klasifikasi ini pernah dilakukan oleh Wilhelm
Schmidt (1868- 1954) dalam bukunya Die Sprachfamilien und Sprachenkreise der
Ende, yang dilampiri dengan peta.
3.4.4
Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi
sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-
faktor yang berlaku dalam masyarakat, tepatnya berdasarkan status, fungsi,
penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi
sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 yang
dapat kita baca dalam artikelnya “ An Outline of Linguistic Typology for
Describing Multilingualism”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri
atau kriteria, yaitu :
- historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu,
- standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku atau statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal,
- vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam kegiatan sehari- hari secara aktif atau tidak,
- homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu diturunkan.
Dengan
menggunakan keempat ciri di atas, hasil klasifikasi bisa menjadi ekshaustik
sebab semua bahasa yang ada di dunia dapat dimasukkan ke dalam kelompok-
kelompok tertentu. Tetapi hasil ini tidak unik sebab sebuah bahasa bisa
mempunyai status yang berbeda.
3.5
BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA
Dalam bagian
yang terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem bunyi. Jadi
bahasa itu adalah apa yang dilisankan. Juga sudah disebutkan bahwa linguistik
melihat bahasa itu adalah bahasa lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang
dituliskan. Namun linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa
tulis, sebab apapun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek
linguistik, padahal bahasa tulis dekat sekali hubungannya denganm bahasa. Hanya
masalahnya, linguistik juga punya prioritas dalam kajiannya. Begitulah, maka
bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah
sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu daripada bahasa tulis. Malah saat ini masih
banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulis. Artinya, bahasa itu
hanya digunakan secara lisan, tetapi tidak secara tulisan. Dalam bahasa itu
belum dikenal ragam bahasa tulisan, yang ada hanya ragam bahasa lisan.
Bahasa
tulis sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan, sebagai usaha
manusia untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang
lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Namun, ternyata rekaman
bahasa tulis sangat tidak sempurna. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan,
intonasi, dan nada yang tidak dapat direkam secara sempurna dalam bahasa tulis,
padahal dalam berbagai bahasa tertentu tiga unsur itu sangat penting.
Apakah
bahasa tulis itu sama dengan bahasa lisan, atau bagaimana? Meskipun dari awal
sudah disebutkan bahwa bahasa tulis sebenarnya tidak lain daripada rekaman
bahasa lisan, tetapi sesungguhnya ada perbedaan besar antara bahasa tulis
dengan bahasa lisan. Bahasa tulis bukanlah bahasa lisan yang dituliskan seperti
yang terjadi kalau kita merekam bahasa lisan itu ke dalam pita rekaman. Bahasa
tulis sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau tidak
hati- hati, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya
kesalahan dan kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar, maka kesalahan
itu tidak bisa secara langsung diperbaiki. Berbeda dengan bahasa lisan. Dalam
bahasa lisan setiap kesalahan bisqa segera diperbaiki, lagipula bahasa lisan
sangat dibantu oleh intonasi, tekanan, mimik, dan gerak- gerik si pembicara.
Berbicara
mengenai asal mula tulisan, hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan
manusia mulai menggunakan tulisan. Ada
cerita yang mengatakan bahwa tulisan itu ditemukan oleh Cadmus, seorang
pangeran dari Phunisia dan lalu membawanya ke Yunani. Dalam fable Cina
dikisahkan bahwa yang menemukan tulisan adalah T’sang Chien Tuhan bermata
empat, dan sebagainya. Para ahli dewasa ini
memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar- gambar yang terdapat
dari gua-gua di Altamira di Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar-
gambar itu dengan bentuknya yang sederhana secara langsung menyatakan maksud
atau konsep yang ingin disampaikan. Gambar- gambar ini disebut pictogram, dan
sebagai sistem tulisan disebut piktograf.
Beberapa
waktu kemudian gambar- gambar piktogram itu benar- benar menjadi sistem tulisan
yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu huruf yang berupa satu
gambar, melambangkan satu makna atau satu konsep. Piktograf ini selanjutnya
tidak lagi menggambarkan benda yang dimaksud, tetapi telah digunakan untuk
menggambarkan sifat benda atau konsep yang berhubungan dengan benda itu.
Piktograf yang menggambarkan gagasan, ide, atau konsep ini disebut ideograf.
Kemudian ideograf berubah menjadi lebih sederhana, sehingga tidak tampak lagi
hubungan langsung antara gambar dengan hal yang dimaksud. Sistem demikian, yang
menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Lalu
dalam perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh orang Yunani yang
kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan
menggambarkan setiap konsonan dan vocal dengan satu huruf. Selanjutnya, aksara
Yunani ini diambil alih pula oleh orang Romawi. Pada abad-abad pertama Masehi
aksara Romawi ini (yang lazim disebut aksara Latin) menyebar ke seluruh dunia.
Tiba di Indonesia sekitar abad XVI bersamaan dengan penyebaran agama Kristen
oleh orang Eropa.
Jadi,
sudah dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu aksara
piktografis, aksara ideografis, aksara silabis, dan aksara fonemis. Semua jenis
aksara itu tidak ada yang bisa “merekam” bahasa lisan secara sempurna. Banyak
unsur bahasa lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan tepat
dan akurat. Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur- unsur
bahasa lisan hanyalah huruf besar untuk
memulai kalimat, koma untuk menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat,
tanda tanya untuk menyatakan interogasi, tanda seru untuk menyatakan
interjeksi, dan tanda hubung untuk menyatakan penggabungan. Bahasa- bahasa di
dunia ini dewasa ini lebih umum menggunakan aksara Latin daripada aksara lain.
Aksara Latin adalah aksara yang tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel
akan dinyatakan dengan huruf vokal dan huruf konsonan. Huruf vokal untuk
melambangkan fonem vokal dan huruf
konsonan untuk melambangkan fonem konsonan dari bahasa yang bersangkutan.
Hubungan antara fonem (yaitu satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna
dalam suatu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil dalam
aksara) ternyata juga bermacam- macam. Tidak sama antara bahasa yang satu
dengan bahasa yang lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap bahasa tidak
sama dengan jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.
Ada pendapat umum yang
mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap fonem
hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya dipakai untuk
melambangkan satu fonem. Jika demikian, ternyata ejaan bahasa Indonesia belum
seratus persen ideal, sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk
melambangkan sebuah fonem. Namun, tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh
lebih baik daripada ejaan bahasa Inggris.
Kajian Buku Linguistik Umum Karya Drs. Abdul Chaer
Email : q.coybae@gmail.com
BAB 3
OBJEK LINGUISTIK: BAHASA
3.1 PENGERTIAN BAHASA
Kata
bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau
pengertian. Kata bahasa yang terdapat pada kalimat bisa menunjuk pada
beberapa arti atau kategori lain. Menurut peristilahan de Saussure, bahasa
bisa berperan sebagai parole, langue, langage. Sebagai objek kajian linguistik,
karole merupakan objek konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang
diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue merupakan
objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu
secara keseluruhan. Langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia
berwujud sistem bahasa yang universal.
“
Apakah bahasa itu?” Seperti yang dikemukakan Kridalaksana (1983 dan juga dalam
Djoko Kentjono 1982) “ Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang
digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi,
dan mengidentifikasi diri”. Definisi ini sejalan dengan definisi dari Barber(1964:
21), Wardhaugh(1977:3), Trager(1949:18), de Saussure(1966:16) dan
Bolinger(1975:15).
Masalah
yang berkeneen dengan pengertian bahasa adalah bilamana sebuah tuturan disebut
bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya dan bilamana hanya dianggap sebagai
varian dari suatu bahasa lainnya dan hanya dianggap sebagai varian dari suatu
bahasa. Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan
dua buah patokan, yaitu patokan linguistis dan patokan politis. Masalah lain
adalah arti bahasa dalam pendidikan formal di sekolah menengah bahwa” bahasa
adalah alat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah tetapi juga tidak benar sebab
hanya mengatakan” bahasa adalah alat”.
Oleh
karena itu, meskipun bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti
tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena ”rumitnya”
menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang
lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa
yang ada di dunia ini.
3.2 HAKIKAT BAHASA
Beberapa
ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa adalah
3.2.1 Bahasa sebagi Sistem
Kata
sistem sudah biasa digunakan dalam kegiatan sehari-hari dengan makna ‘cara’
atau ‘aturan’, tapi dalam kaitan dengan keilmuan, sistem bararti susunan
teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi.
Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis.
Dengan sistematis, artinya bahasa itu tersusun menurut pola, tidak tersusun
secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya bahasa itu bukan
merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub- subsistem atau sistem
bawahan.
3.2.2 Bahasa sebagai Lambang
Kata
lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian yang sama.
Lambang dikaji orang dengan kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut
ilmu Semiotika atau Semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada
dalam kehidupan manusia termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi
dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign), lambang
(simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode,
indeks, dan ikon. Dengan begitu, bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud
bunyi- bahasa, bukan dalam wujud lain.
3.2.3 Bahasa adalah Bunyi
Sistem
bahasa itu bisa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kata bunyi, sering
sukar dibedakan dengan kata suara. Secara teknik, menurut Kridalaksana (1983:
27) bunyi adalah kesan dari pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang
telinga yang bereaksi karena perubahan- perubahan dalam tekanan udara. Lalu
yang dimaksud dengan bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah
bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Jadi, bunyi yang bukan
dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi bahasa. Tetapi tidak
semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa,
seperti teriak, bersin, batuk- batuk, dan sebagainya.
3.2.4 Bahasa itu Bermakna
Bahasa
itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, maka tentu ada yang
dilambangkan. Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau
pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang- lambang
itu mengacu pada suatu konsep, ide atau suatu pikiran, maka dapat dikatakan
bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lambang- lambang bunyi bahasa yang bermakna
itu di dalam bahasa berupa satuan- satuan bahasa yang berwujud morfem, kata,
frase, klausa, kalimat dan wacana. Karena bahasa itu bermakna, maka segala
ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
3.2.5 Bahasa itu Arbitrer
Kata
arbitrer bisa diartikan “ sewenang- wenang, berubah- ubah, tidak tetap, mana
suka”. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang
berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang
tersebut.
3.2.6 Bahasa itu Konvensional
Meskipun
hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer,
tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat
konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi
bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
3.2.7 Bahasa itu Produktif
Kata
produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah
“ banyak hasilnya “ atau lebih tepat “ terus- menerus menghasilkan “. Lalu,
kalau bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsur- unsur
bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur- unsur yang jumlahnya terbatas itu
dapat dibuat satuan- satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara
relatif, sesuai dengan sistem yamg berlaku dalam bahasa itu.
3.2.8 Bahasa itu Unik
Unik
artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain.
Bahasa dikatakan unik yang artinya setiap bahasa memiliki ciri khas yang tidak
dimiliki oleh bahasa lain. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa
tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis, artinya jika kita
memberi tekanan pada kata dalam kalimat maka makna kata itu tetap.
3.2.9 Bahasa itu Universal
Bahasa
bersifat universal artinya ada ciri- ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di dunia ini. Ciri- ciri yang universal ini tentunya merupakan
unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri- ciri atau
sifat- sifat bahasa lain.
3.2.10 Bahasa itu Dinamis
Bahasa
adalah satu- satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan
dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang
berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu
dengan manusia, sedangkan dalam
kehidupannya di dalam masyarakat, kegiatan manusia itu tidak tetap dan
selalu berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap
dan tidak statis. Karena itulah bahasa itu disebut dinamis.
3.2.11 Bahasa itu Bervariasi
Anggota
masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai
status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Anggota
masyarakat bahasa itu ada yang berpndidikan baik ada juga yang tidak, ada yang
tinggal di kota
ada yang tinggal di desa, ada orang dewasa dan kanak- kanak. Oleh karena latar
belakang dan lingkungannya tidak sama maka bahasa yang mereka gunakan menjadi
bervariasi atau beragam.
3.2.12 Bahasa itu Manusiawi
Alat
komunikasi manusia yang namanya bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti
hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Alat komunikasi
binatang bersifat terbatas. Dalam arti hanya untuk keperluan hidup “
kebinatangannya” itu saja. Kalaupun ada binatang yang dapat mengerti dan
memahami serta melakukan perintah manusia dalam bahasa manusia adalah berkat
latihan yang diberikan kepadanya.
3.3 BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA
Objek
kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu
sendiri, sedangkan kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya
dengan faktor- faktor di luar bahasa yaitu tidak lain daripada segala hal yang
berkaitan dengan kegiatan manusia di dalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan
yang tanpa berhubungan dengan bahasa.
3.3.1 Masyarakat Bahasa
Kata
masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang (dalam jumlah yang
banyaknya relatif ), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat
tinggal atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Yang dimaksud dengan
masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang
sama. Karena titik berat pengertian masyarakat bahasa pada “ merasa menggunakan
bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan dapat
menjadi sempit.
3.3.2 Variasi dan Status Sosial
Bahasa
Dalam
beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya
dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang
pertama adalah variasi bahasa tinggi ( T ) digunakan dalam situasi- situasi
resmi, seperti pidato kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah,
surat- menyurat resmi dan buku pelajaran, variasi T ini harus dipelajari
melalui pendidikan formal di sekolah- sekolah. Yang kedua adalah variasi bahasa
rendah ( R ) digunakan dalam situasi tidak formal, seperti di rumah, di warung,
di jalan, dalam surat- surat pribadi dan catatan untuk diri sendiri, variasi R
ini dipelajari secara langsung di dalam masyarakat umum dan tidak pernah dalam
pendidikan formal. Adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R disebut dengan
istilah diglosia ( Ferguson
1964 ). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis.
3.3.3 Penggunaan Bahasa
Adanya
berbagai macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita
harus menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat. Hymes (1974) seorang pakar
sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa
harus memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
- Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya percakapan
- Participants, yaitu orang- orang yang terlibat dalam percakapan
- Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan
- Act sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan
- Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan
- Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau bukan
- Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan
- Genres, yaitu menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Kedelapan
unsur tersebut dalam formulasi lain bisa dikatakan dalam berkomunikasai lewat
bahasa harus diperhatikan faktor- faktor siapa lawan atau mitra bicara kita,
tentang apa, situasinya bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa dan ragam bahasa
yang digunakan yang mana.
3.3.4 Kontak Bahasa
Dalam
masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan
anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat,
akan terjadilah apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang
menerima kedatangan akan saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang
datang. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa
ini adalah terjadinya atau terdapatnya apa yang disebut bilingualisme dan
multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya, sepertu interferensi,
integrasi, alihkode, dan campurkode.
3.3.5 Bahasa dan Budaya
Satu
lagi yang menjadi objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa
dengan budaya atau kebudayaan. Dalam sejarah linguistik ada suatu hipotesisyang
sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan ini. Hipotesis ini
dikeluarkan oleh dua orang pakar, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (
hipotesis Sapir- Whorf) yang menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan
atau bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat
penuturnya. Jadi bahasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia. Apa
yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat- sifat bahasanya.
3.4
KLASIFIKASI BAHASA
Klasifikasi
dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa. Bahasa yang
mempunyai kesamaan ciri dimasukkan dalam satu kelompok. Menurut Greenberg (1957:
66) suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer,
ekhaustik, dan unik. Nonarbitrer maksudnya bahwa kriteria klasifikasi hanya
harus ada satu kriteria, maka hasilnya akan ekhaustik. Artinya, setelah
klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya, semua bahasa yang ada dapat masuk
ke dalam salah satu kelompok. Hasil klasifikasi juga harus bersifat unik,
maksudnya kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelompok, dia
tidak bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain, kalau masuk ke dalam dua
kelompok atau lebih berarti hasil klasifikasi itu tidak unik.
3.4.1
Klasifikasi Genetis
Klasifikasi
genetis disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis
keturunan bahasa- bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan
dari bahasa yang lebih tua. Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa
pro ( bahasa tua, bahasa semula) akan pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau
lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan menurunkan pula bahasa- bahasa lain.
Kemudian bahasa- bahasa lain itu akan menurunkan lagi bahasa- bahasa pecahan
berikutnya.
Klasifikasi
genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti yaitu atas kesamaan
bentuk (bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa- bahasa yang memiliki
sejumlah kesamaan seperti itu dianggap berasal dari bahasa asal atau bahasa
proto yang sama. Apa yang dilakukan dalam klasifikasi genetis ini sebenarnya
sama dengan teknik yang dilakukan dalam linguistik historis komparatif, yaitu
adanya korespondensi bentuk (bunyi) dan makna. Oleh karena itu, klasifikasi
genetis bisa dikatakan merupakan hasil pekerjaan linguistik historis
komparatif. Klasifikasi genetis juga menunjukkan bahwa perkembangan bahasa-
bahasa di dunia ini bersifat divergensif, yakni memecah dan menyebar menjadi
banyak, tetapi pada masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan
teknologi komunikasi yang semakin canggih, perkembangan yang konvergensif
tampaknya akan lebih mungkin dapat terjadi.
3.4.2
Klasifikasi Tipologis
Klasifikasi
tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe- tipe yang terdapat
pada sejumlah bahasa. Tipe ini merupakan unsur tertentu yang dapat timbul
berulang- ulang dalam suatu bahasa. Klasifikasi tipologi ini dapat dilakukan
pada semua tataran bahasa. Maka hasil klasifikasinya dapat bermacam- macam,
akibatnya menjadi bersifat arbitrer karena tidak terikat oleh tipe tertentu.
Klasifikasi
pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar
dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
§
Kelompok pertama adalah yang semata- mata
menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar klasifikasi. ( klasifikasi morfologi oleh
Fredrich Von Schlegel)
§
Kelompok kedua adalah yang menggunakan akar kata
sebagai dasar klasifikasi ( oleh Franz Bopp).
§
Kelompok ketiga adalah yang menggunakan bentuk
sintaksis sebagai dasar klasifikasi, pakarnya antara lain H. Steinthal.
Pada abad XX ada
juga pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang berbeda, misalnya yang
dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954).
3.4.3
Klasifikasi Areal
Klasifikasi
areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa
memperhatikan apakah bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak.
Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam kontak sejarah bahasa- bahasa
itu memberikan pengaruh timbal balik dalam hal- hal tertentu yang terbatas.
Klasifikasi inipun bersifat non ekhaustik, sebab masih banyak bahasa- bahasa di
dunia ini yang masih bersifat tertutup dalam arti belum menerima unsur- unsur
luar. Selain itu, klasifikasi inipun bersifat non unik, sebab ada kemungkinan
sebuah bahasa dapat masuk dalam kelompok tertentu dan dapat pula masuk ke dalam
kelompok lainnya lagi. Usaha klasifikasi ini pernah dilakukan oleh Wilhelm
Schmidt (1868- 1954) dalam bukunya Die Sprachfamilien und Sprachenkreise der
Ende, yang dilampiri dengan peta.
3.4.4
Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi
sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-
faktor yang berlaku dalam masyarakat, tepatnya berdasarkan status, fungsi,
penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi
sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh William A. Stuart tahun 1962 yang
dapat kita baca dalam artikelnya “ An Outline of Linguistic Typology for
Describing Multilingualism”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri
atau kriteria, yaitu :
- historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa itu,
- standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku atau statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal,
- vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya dalam kegiatan sehari- hari secara aktif atau tidak,
- homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu diturunkan.
Dengan
menggunakan keempat ciri di atas, hasil klasifikasi bisa menjadi ekshaustik
sebab semua bahasa yang ada di dunia dapat dimasukkan ke dalam kelompok-
kelompok tertentu. Tetapi hasil ini tidak unik sebab sebuah bahasa bisa
mempunyai status yang berbeda.
3.5
BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA
Dalam bagian
yang terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem bunyi. Jadi
bahasa itu adalah apa yang dilisankan. Juga sudah disebutkan bahwa linguistik
melihat bahasa itu adalah bahasa lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang
dituliskan. Namun linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa
tulis, sebab apapun yang berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek
linguistik, padahal bahasa tulis dekat sekali hubungannya denganm bahasa. Hanya
masalahnya, linguistik juga punya prioritas dalam kajiannya. Begitulah, maka
bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedangkan bahasa tulis adalah
sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu daripada bahasa tulis. Malah saat ini masih
banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulis. Artinya, bahasa itu
hanya digunakan secara lisan, tetapi tidak secara tulisan. Dalam bahasa itu
belum dikenal ragam bahasa tulisan, yang ada hanya ragam bahasa lisan.
Bahasa
tulis sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan, sebagai usaha
manusia untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang
lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Namun, ternyata rekaman
bahasa tulis sangat tidak sempurna. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan,
intonasi, dan nada yang tidak dapat direkam secara sempurna dalam bahasa tulis,
padahal dalam berbagai bahasa tertentu tiga unsur itu sangat penting.
Apakah
bahasa tulis itu sama dengan bahasa lisan, atau bagaimana? Meskipun dari awal
sudah disebutkan bahwa bahasa tulis sebenarnya tidak lain daripada rekaman
bahasa lisan, tetapi sesungguhnya ada perbedaan besar antara bahasa tulis
dengan bahasa lisan. Bahasa tulis bukanlah bahasa lisan yang dituliskan seperti
yang terjadi kalau kita merekam bahasa lisan itu ke dalam pita rekaman. Bahasa
tulis sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran, sebab kalau tidak
hati- hati, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya
kesalahan dan kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar, maka kesalahan
itu tidak bisa secara langsung diperbaiki. Berbeda dengan bahasa lisan. Dalam
bahasa lisan setiap kesalahan bisqa segera diperbaiki, lagipula bahasa lisan
sangat dibantu oleh intonasi, tekanan, mimik, dan gerak- gerik si pembicara.
Berbicara
mengenai asal mula tulisan, hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan
manusia mulai menggunakan tulisan. Ada
cerita yang mengatakan bahwa tulisan itu ditemukan oleh Cadmus, seorang
pangeran dari Phunisia dan lalu membawanya ke Yunani. Dalam fable Cina
dikisahkan bahwa yang menemukan tulisan adalah T’sang Chien Tuhan bermata
empat, dan sebagainya. Para ahli dewasa ini
memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar- gambar yang terdapat
dari gua-gua di Altamira di Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain. Gambar-
gambar itu dengan bentuknya yang sederhana secara langsung menyatakan maksud
atau konsep yang ingin disampaikan. Gambar- gambar ini disebut pictogram, dan
sebagai sistem tulisan disebut piktograf.
Beberapa
waktu kemudian gambar- gambar piktogram itu benar- benar menjadi sistem tulisan
yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu huruf yang berupa satu
gambar, melambangkan satu makna atau satu konsep. Piktograf ini selanjutnya
tidak lagi menggambarkan benda yang dimaksud, tetapi telah digunakan untuk
menggambarkan sifat benda atau konsep yang berhubungan dengan benda itu.
Piktograf yang menggambarkan gagasan, ide, atau konsep ini disebut ideograf.
Kemudian ideograf berubah menjadi lebih sederhana, sehingga tidak tampak lagi
hubungan langsung antara gambar dengan hal yang dimaksud. Sistem demikian, yang
menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Lalu
dalam perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh orang Yunani yang
kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan
menggambarkan setiap konsonan dan vocal dengan satu huruf. Selanjutnya, aksara
Yunani ini diambil alih pula oleh orang Romawi. Pada abad-abad pertama Masehi
aksara Romawi ini (yang lazim disebut aksara Latin) menyebar ke seluruh dunia.
Tiba di Indonesia sekitar abad XVI bersamaan dengan penyebaran agama Kristen
oleh orang Eropa.
Jadi,
sudah dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu aksara
piktografis, aksara ideografis, aksara silabis, dan aksara fonemis. Semua jenis
aksara itu tidak ada yang bisa “merekam” bahasa lisan secara sempurna. Banyak
unsur bahasa lisan yang tidak dapat digambarkan oleh aksara itu dengan tepat
dan akurat. Alat pelengkap aksara yang ada untuk menggambarkan unsur- unsur
bahasa lisan hanyalah huruf besar untuk
memulai kalimat, koma untuk menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat,
tanda tanya untuk menyatakan interogasi, tanda seru untuk menyatakan
interjeksi, dan tanda hubung untuk menyatakan penggabungan. Bahasa- bahasa di
dunia ini dewasa ini lebih umum menggunakan aksara Latin daripada aksara lain.
Aksara Latin adalah aksara yang tidak bersifat silabis. Jadi, setiap silabel
akan dinyatakan dengan huruf vokal dan huruf konsonan. Huruf vokal untuk
melambangkan fonem vokal dan huruf
konsonan untuk melambangkan fonem konsonan dari bahasa yang bersangkutan.
Hubungan antara fonem (yaitu satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan makna
dalam suatu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu satuan unsur terkecil dalam
aksara) ternyata juga bermacam- macam. Tidak sama antara bahasa yang satu
dengan bahasa yang lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap bahasa tidak
sama dengan jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.
Ada pendapat umum yang
mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang melambangkan tiap fonem
hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya dipakai untuk
melambangkan satu fonem. Jika demikian, ternyata ejaan bahasa Indonesia belum
seratus persen ideal, sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk
melambangkan sebuah fonem. Namun, tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh
lebih baik daripada ejaan bahasa Inggris.
Komentar
Posting Komentar